MOM BLOGGER

A Journal Of Life

Memutus Mata Rantai Marah

Rabu, 13 Januari 2016
Dulu, jaman masih gadis, saya suka heran sendiri dengan ibu atau ayah yang sangat mudah memarahi anaknya atau memaksa anaknya dengan menarik lengan atau melakukan tindakan fisik lainnya kepada si anak. Saat itu saya bertekad akan menjadi orang tua yang tidak akan seperti orang tua yang saya saksikan itu. Tanpa mengetahui sebab kenapa orang tua itu begini begitu kepada anaknya, pokoknya saya mau menjadi orang tua yang menyenangkan bagi anak-anak saya.
Menyenangkan seperti apa? Menyenangkan karena tidak pernah marah dan berlaku kasar. Menyenangkan karena sangat mengerti apa yang diinginkan anak. Menyenangkan karena saya yakin saya adalah pribadi yang menyenangkan. (Pede abiiis!!!)
Dari kecil hingga akhirnya saya menikah dan memiliki anak, saya tidak pernah tau secara tepat apa yang menyebabkan orang tua marah dan berlaku kasar kepada anak-anaknya. Yang saya tau, perlakuan orang tua kepada anak sedikit banyaknya akan tercontoh oleh si anak ketika mereka sudah memiliki keturunan. Dan artinya, akan ada pola yang tidak pernah terputus dalam sebuah keluarga yang memiliki kebiasaan marah dan berlaku kasar kepada anak.
Secara pribadi, saya sangat tidak menginginkan mata rantai nilai-nilai negatif yang tertancap di diri saya dirasakan juga oleh anak-anak saya. Sehingga muncullah keinginan untuk memutus mata rantai tersebut. Caranya? Saat itu jawaban saya ya dengan tidak menjadi orang tua pemarah dan berlaku kasar.
Setelah menjadi orang tua, ternyata saya menemukan kesulitan dalam merealisasikan keinginan saya ini. Dalam kurun waktu 2 tahun 5 bulan menjadi seorang ibu, alam bawah sadar saya terlalu dominan mengontrol emosi diri saya. Sehingga pola marah dan berlaku kasar pun kerap kali saya lakukan kepada anak-anak.
Tidak mau hal ini terus terjadi. Dan demi mewujudkan keinginan untuk memutus mata rantai ini, saya harus sedikit menambah stok sabar dan memberi ruang pengetahuan khusus untuk otak saya belajar tentang ilmu parenting dan psikologi anak.
Kata ibu saya, memiliki anak kembar itu sama seperti memiliki 4 anak dengan jarak usia yang dekat. Tapi sejujurnya saya kurang setuju. Meski secara kasat mata mengasuh anak kembar itu seperti mengasuh 2 anak dengan jarak usia yang rapat, tapi sesungguhnya tetaplah terdapat perbedaan-perbedaan kecil yang hanya bisa dirasakan oleh ibu beranak kembar. Terutama ibu yang nakmkembar nya merupakan anak pertama.
Memang pendapat saya ini sedikit tendensius. Ada kecenderungan ingin dimengerti dan ingin diiyakan tentang apa yang saya rasakan. Namun tampaknya ada poin lebih penting dari sekedar untuk memperoleh pembenaran.
Berbeda dengan kesiapan mental untuk menikah, kesiapan mental untuk menjadi seorang ibu sering sekali luput dari perhatian para wanita. Tak jarang banyak diantara kita membayangkan kehidupan rumah tangga itu sebatas kita dan pasangan saja. Jikapun ada pikiran untuk memiliki keturunan, sangat sedikit yang benar-benar mempersiapkan diri untuk menjadi ibu jauh sebelum anak lahir (Apalagi kalo dihitung dari sebelum hamil, aduh kayanya dikiiiiiiit banget yang prepare). Terlebih bagi yang menikah tak jauh dari masa kelulusan atau bahkan yang menikah saat masih menempuh pendidikannya.
Sebenarnya apa sih yang harus dipersiapkan untuk menjadi seorang ibu? Bukankah nanti kita akan belajar secara natural berdasarkan intuisi yabg sudah diberikan Allah? Toh orang tua kita terdahulu atau bahkan banyak pasangan muda yang menikah diusia muda yang tidak  mempersiapkan diri mereka pun masih bisa menjalani perannya sebagai ibu. Bahkan mereka tergolong sukses dalam mendidik anak mereka.
Yups, betul!!! Banyak sekali contoh orang tua sukses yang tidak memiliki persiapan khusus untuk menjadi orang tua. Tapi tunggu dulu. Apa benar-benar tidak ada persiapan? Apa mungkin mereka telah mempersiapkan diri secara tidak sadar?
Kematangan mental dan kepribadian menurut saya menjadi kunci utama dalam menjalani kehidupan. Ketika seseorang telah mencapai kematangan mental yang baik dan memiliki kepribadian menawan, hal itulah yang menjadi cikal bakal persiapan merek untuk menjadi orang tua. Lalu bagaimana dengan saya, atau saya saya yang lain yang masih butuh waktu ekstra dalam mematangkan mental dan memperbaiki kepribadian???
Yuk mari belajar lagi!!!
Kematangan mental
★ Mental ketika menghadapi perbedaan pendapat, pandangan, memperoleh kritikan, mendapat cacian dan hinaan.
~~~~ ketika mental sudah matang, perbedaan akan dihargai, kritikan akan diterima, cacian dan hinaan cukup menjadi penempa diri
◇◇◇◇◇ ketika mental masih separo matang atau bahkan belum matang, maka perbedaan akan menyebabkan pertengkaran, kritikan mendatangka peperangan, dan cacian dan hinaan akan dibalas lebih menyakitkan.
Kepribadian Menawan
★ kepribadian dengan bejibun nilai positif mulai dar jiwa, fikiran, dan gelagat
~~~~ ketika pribadi menawan, yang muncuk fikiran positif ditengah terpaan dan kesempatan untuk berfikir negatif, memiliki jiwa tenang dan menyenangkan, gelagat atau bahasa tubuh santun dan menawan.
◇◇◇◇◇ ketika pribadi tak menawan, fikiran negatif menguasai, jiwa tak tentu, gelagat pun cenderung menyakitkan orang lain.
Itulah sedikit analisis kecil saya, tanoa teori, hanya berdasarkan pemikiran pribadi.
Dari analisis diatas, ketika saya hendak memutus mata rantai memarahi dan bertindak fisik kepada anak-anak, maka saya harus terus memperbaiki diri menjadi pribadi menawan dengan mental matang wajah rupawan #eh
Aplikasinya?
♥ Pelajari hal-hal terkait ilmu perkembangan anak berdasarkan tingkatan usianya
♥ Kenali karakter anak dan didiklah anak berdasarkan karakter mereka sambil terus mengembangkan karakter positif mereka dan meminimalisir karakter negatif
♥ kenali kebutuhan diri dan permasalahan diri
♥ cari solusi secepatnya atas permasalahan diri untuk menghindari pelampiasan emosi kepada anak
♥ yakinkan diri bahwa anak itu ladang amalan menuju surga
♥ tancapkan kuat-kuat visi misi keluarga di dalam diri (jika perlu, tuliskan dan tempel di dinding rumah)
♥ tambah lagi pengetahuan agama sehingga semakin banyaklah ilmu kita yang akan berefek pada semangat kita untuk terus memberikan yang terbaik untuk anak
♥ melibatkan Allah atas segala urusan akan mempermudah hati yang sempit, fikiran yang keruh, dan gerak tubuh yang keliru
Setelah semuanya dalam proses realisasi, maka fokuslah pada prosesnya. Karena hasil dari perubahan yang kita lakukan hanya akan terlihat ketika kita sudah tiada.
Oh ya, sebagai tambahan, barangkali ada yang membaca tulisan saya ini, buat para gadis dan bujang yang merindukan pernikahan, ada baiknya persiapkanlah diri dan mental untuj menjadi orang tua. Ketika siap menjadi orang tua, makan secara tidak langsung kita siap menikah. Jadi ga ada salahnya membaca buku-buku tentang rumah tangga. Jangan sekedar membaca buku tentang membina hubungan harmonis dengan pasangan aja, tapi pelajari juga tentang menjadi orang tua itu seperti apa, apa yang perlu dipersiapkan, dll.
Ini ocehan saya sebagai wujud penyesalan kenapa selalu saja sadar ketika sudah melewatinya. Tapi alhamdulillah masih dikasih sadar, kalo ga sadar-sadar?
Udah ah, makin ga nyambung, saya hanya berharap semoga PR kontrol emosi saya bisa segera teratasi dan menemukan poka terbaik dalam menghadapi dan mengontrolnya. Pokoknya No marah-marah dan No tindakan fisik!!!!
NB: Tegas boleh, Marah No!! Kalo udah marah, kontrol diri dan kejernihan berfikir pudar. Disitulah sering terjadi kesalahpahaman dengan anak. Jika tidak di stop, maka akan tercipta pola tidak sehat dalam keluarga.
Payakumbuh, 13 Januari 2016
Post Comment
Posting Komentar

Komenmu sangat berarti bagiku 😆
Makasi ya udah ninggalin komen positif ... 🤗